Rabu, 30 November 2011

Ini Akibatnya Jika Salah Memandang Konsep Islam!



KOMARUDDIN Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, belum lama ini menulis opini di harian KOMPAS (05/11/2011) berjudul “Keislaman Indonesia”.

Intisari dari tulisan tersebut adalah mengkritik prilaku Muslim Indonesia dan Negara-negara Arab yang disebut lebih mementingkan aspek ritual dari pada keslehan sosial. Sekaligus membandingkannya dengan Negara-negara maju non-Muslim yang dinilai lebih Islami.

Komaruddin Hidayat mengutip hasil riset Scheharazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University pada 2010 lalu tentang perilaku masyarakat Muslim. Penelitian itu menyebutkan, dari sebanyak 208 negara, Negara-negara Muslim anggota OKI rata-rata berada di urutan ke-139. Alias, Negara-negara sekuler perilaku masyarakatnya katanya lebih ‘Islami’ dari pada masyarakat Muslim.

Menafikan teologi

Tentu, mudah ditebak bahwa pendekatan yang digunakan untuk menilai perilaku masyarakat tersebut adalah sosiologis, bukan teologis. Bukan pula gabungan sosiologis-teologis. Hal ini dapat ditangkap dari tulisan Komaruddin Hidayat:

"Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia,” begitu tulisnya.

Artinya, perilaku dan karakter masyarakat yang menjadi objek penelitian, tidak dikaitkan dengan teologi. Sehingga, apapun bentuk akidah masyarakat tersebut, dapat saja disebut Islami, asalkan memenuhi syarat yang ia jadikan indikator.

Bisa diperhatikan, kepercayaan kepada Tuhan, Wahyu Tuhan dan kepada Nabi tidak menjadi parameter dalam penilaian tersebut. Akan tetapi justru karakter-karakter umum yang menjadi indikator. Persoalan apakah warga Jepang tersebut percaya pada Allah, al-Qur’an atau peribadatan yang berkaitan dengan hubungannya dengan Tuhan diabaikan.

Meskipun disebut dalam riset tersebut, bahwa indikator penelitiannya diambil dari ajaran al-Qur’an dan Hadist, namun bukan berarti riset itu menggunakan pendekatan teologis.

Model pengamatan seperti ini merupakan tradisi peneliti-peneliti postmodern. Yakni, sosiologi tidak dikaitkan dengan teologi. Teologi telah dimatikan.

Inilah problem mendasarnya. Penelitian tidak menjelajah konsep-konsep teologis agama sebagai indikator utama. Kepercayaan dan akidah bukan sasaran utama penelitian untuk menilai seseorang itu religius, Islami atau tidak islami. Peter L. Berger mengatakan, perspektif sosiologis concern pada struktur sosial, dan konstruksi pengalaman manusia.

Problemnya lagi, Berger menjelaskan bahwa dalam perspektif sosiologis, agama-agama dimasukkan ke dalam budaya (Peter L. Berger, The Social Reality of Religion, halaman 1).

Michael S. Northocott mengamini. Katanya, dalam pendekatan sosiologis, agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial (Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama).

Jadi, framework pendekatan sosilogis ala Barat menepatkan agama-agama sebagai produk budaya atau bentuk konstruksi sosial. Maklum saja, pendekatan ini anti-metafisikia. Bagi August Comte, metafisika itu kuno dan tergantikan oleh sains.

Mindset Orientalis

Makanya, Rehman, Askari dan Komaruddin Hidayat dalam opini tersebut sama sekali tidak menjadikan kepercayaan transendensi menjadi indiator utama. Mereka hanya menilai keislaman itu dari “kebiasaan disipilin antre”, “menjaga kebersihan”, “tidak korupsi”, “suka menolong” dan lain sebagainya.

Ada alasan kenapa yang dipilih adalah sosiologis bukan teologis. Mohammed Arkoun, pemikir liberal Arab asal Aljazair mengatakan, pendekatan teologis itu kuno, menimbulkan ‘clash’ antar pemeluk agama, dan menghidupkan ideologi truth claim (baca Al-Almanah wa al-Din, al-Islam, al-Masih, al-Gharb).

Model penelitian seperti inilah yang menjadi trend orientalis atau sarjana Barat pengkaji studi agama. Salah satunya tokoh pluralisme Agama, John Hick dan William P. Aston. Hick dan Aston sepakat, pengalaman religius itu menjadi parameter untuk menjustifikasi keyakinan beragama. Tampaknya Komaruddin Hidayat meniru tokoh ini.

Hick menjelaskan bahwa pengalaman dan karakter religius itu dapat ditemukan pada semua agama. Wajar saja kemudian Komaruddin, Rehman dan Askari berani mengatakan masyarakat Selandia Baru, Luksemburg dan Jepang “lebih islami” daripada masyarakat Timur Tengah dan Indonesia.

Secara kasar dapat dikatakan, orang Jepang yang atheis bisa menjadi sholeh. Atau masyarakat Selandia Baru yang Kristen perilakunya bisa menjadi islami. Inilah logika ‘ngawur’-nya.

Bagaimana mungkin seorang yang menghujat Tuhan dan menghina al-Qur’an dapat dinilai sebagai orang baik, berkarakter sholeh?

Jelas saja, pilihan sosiologis dalam riset tersebut berimplikasi terhadap cara pandang terhadap agama-agama. Agama adalah budaya dan agama adalah hasil konstruksi sosial masyarakat religius. Siapa saja bisa menjadi orang baik apapun agamanya.

Ujungnya, jika logika ini diteruskan akan menghasilkan keyakinan, bahwa semua agama adalah sama. Artinya, pendekatan sosiologis ala Barat tersebut memproduk ‘akidah’ Pluralisme Agama.

Inilah yang disebut kerancuan konsep dan berfikir. Yang disalah pahamai dalam konteks ini adalah konsep sholeh, konsep Islam dan konsep masyarakat Islami.

Syed Naquib al-Attas, menjelaskan indikator pertama untuk menilai seorang itu sholeh atau tidak adalah adabnya kepada Allah. Orang yang tidak percaya Tuhan, atau atheis adalah orang yang tidak beradab kepada Tuhannya, alias biadab.

Meskipun si atheis atau si kafir itu orang berdisiplin, jujur dan suka menolong orang lain tetap disebut biadab, bukan beradab. Sebab, amalnya batal atau tidak sah di depan Allah SWT.

Seperti firman Allah: “Dan orang-orang kafir amal-amalnya mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatangi ‘air’ itu, maka dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.” (QS. Al-Nur: 39).

Karenanya, karakter masyarakat non-Muslim yang kita anggap berbudaya disiplin, jujur dan tidak korupsi itu sesungguhnya hanya karakter palsu, laksana fatamorgana.

Makanya, mereka tidak dapat disebut masyarakat yang islami. Yang islami apanya? Percaya kepada Allah saja tidak, shalat tidak, bertauhid-pun juga tidak.

Yusuf Qaradhawi dan Ibnu Khaldun dengan jelas mendefinisikan ‘masyarakat islami’ itu adalah masyarakat yang menjadikan aqidah Islam sebagai pondasi dasar dalam melakukan aktifitas sosial.

Menurut al-Attas, orang baik itu adalah baik secara teologis sekaligus baik secara sosiologis. Bukan, baik secara sosiologis tapi jahat secara teologis. Inilah karakter yang disebut Islami. Al-Attas mengatakan:

“Orang baik adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Haq; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap diri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.” (Syed M.Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin).

Cara pandang postmo seperti ini sering dipakai kalangan liberal untuk berpendapat. Misalnya, pendapat yang mengatakan, “saya tidak shalat, tetapi baik pada tetangga.” Atau pendapat lain yang mengatakan, “Lebih baik beramal meski tidak shalat, daripada shalat tapi tidak beramal.”

Padahal dalil dalam al-Quran sangat jelas mengatakan;

”Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan (orang kafir), lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS: al-furqan ayat 23)

Kebersihan atau kerapian memang salah satu sifat Islam. Namun tidak bisa serta-merta disebut islami hanya dengan salah satu indikasi ini saja. Orang Muslimpun tak masuk kreteria “islami” jika niat melakukan kebersihan atau mencegah korupsi untuk tujuan riya’ atau hanya ingin dipandang baik di masyarakat. Apalagi orang kafir yang tak meyakini tauhid.

Tentu, cara pandang ini tidak mampu menilai secara hakiki identitas agama-agama, dan tidak adil menilai karakter religious seseorang.

Artinya, pendekatan sosiologis tersebut gagal menilai agama. Sebab hanya mampu menilai identitas permukaannya saja, sedangkan inti keislaman yaitu akidah sebagai motornya agama justru diabaikan.

Ini tentu berbeda dengan cara pandang para ilmuan Muslim. Ibn Khaldun dan al-Biruni dalam meneliti keagamaan masyarakat selalu mengaitkan dengan teologi. Karena keberagamaan itu terletak kepada teologi sebagai asasnya.

Tentu berbeda lagi jika Komaruddin Hidayat menjadikan antropologi dan sosiologi sebagai 'teologi'. Jika ini yang terjadi, maka selamanya tidak akan dapat menemukan hakikat agama keislaman, sebagaiman yang terjadi dalam tradisi pemikir postmodern.
http://www.blogger.com/img/blank.gif
Ternyata secara sosiologis pun baik pengamatan Komaruddin Hidayat, Rehman maupun Askari tidak adil. Coba lihat, bagaimana mereka melepaskan pandangannya tentang masyarakat di Negara-negara Barat yang berbudaya free sex, pergaulan bebas, minum-minuman keras dan lain sebagainya. Bahkan bagi Barat, seks itu adalah bagian dari peradabannya. Bagaimanakah Komaruddin, Rehman dan Askari menyebutnya sebagai ‘lebih islami’, dibanding orang Islam?

Penulis adalah alumni Jurusan Ilmu Akidah Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam Gontor Ponorogo

Keterangan foto: Kota Jepang yang bersih, tapi tak percaya Tuhan, apa juga disebut "islami?'

sumber :

http://pks-cianjur.org/index.php/artikel/tatsqif/580-ini-akibatnya-jika-salah-memandang-konsep-islam.html

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More