Senin, 14 September 2009

Ketika Kearifan dan Kezuhudan Menyatu

Ketika kearifan dan kezuhudan menyatu dalam diri seseorang, maka langkah-langkah kemajuan spiritualnya telah mencapai tahap-tahap ideal. Dengan kearifannya ia akan selalu memuji Allah Swt sebagai refleksi rasa sykurnya atas nikmat Allah yang tak terhingga yang dianugerahkan kepadanya. Dengan pujian yang tak henti-hentinya itu pula ia dimungkin dapat meraih kepuasaan Allah Swt terhadap dirinya. Dengan kezuhudannya ia akan selalu berusaha membersihkan dirinya dari segala noda yang dapat mengalingi dirinya memperoleh kecintaan-Nya dan karenanya ia dimungkinkan meraih puncak keberagaanya, yaitu keshalihan.

Akhirnya, kearifan dan kezuhudan akan menenteramkan jiwa sang diri. Sedangkan ketenteraman jiwa adalah syarat untuk memperoleh panggilan-Nya. “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,. masuklah ke dalam syurga-Ku.” (QS al-Fajr 89: 27-30)

Kemajuan spiritual adalah bekal utama setiap individu dalam pengembaraannya yang panjang dan melelahkan. Kearifan dan kezuhudan merupakan sebagian tanda kemajuan spiritual seseorang. Dengan kemajuan itu ia dimungkinkan dapat tegar menghadapi berbagai deraan yang menghantam di perjalanannya. Ketegaran itu pula yang membuatnya tidak mengalami kelelahan jiwa yang menyebabkan dirinya bisa tercampak dari kemuliaannya.

Bagi orang yang menekuni jalan spiritual, istilah 'Arif dan Zahid tidak asing di telinganya. Dua istilah yang populer di kalangan ahli ibadah ini mengacu pada tingkat kemajuan spiritual seseorang.

Orang ‘Arif adalah orang yang dapat memandang apa yang tersirat pada sesuatu kejadian, peristiwa, keadaan, atau masalah. Dalam istilah sufi orang yang tergolong 'Arif adalah orang yang telah mengenali dirinya dan Tuhannya dengan pengenalan yang baik.

Pengenalan pada dirinya itu tidak berhenti hanya pada tingkatan psikologis melainkan juga pada penghalang-penghalangnya yang menutupi pengetahuannya terhadap eksistensi Tuhan.

Oleh sebab itu orang 'Arif, dengan melalui disiplin asketik (al-mujahadah), selain mengenali dirinya sebagai hamba Allah, dengan segala kelemahan yang ada padanya, juga mampu membuka selubung kosmik yang menghalangi cahaya surga untuk menyinari jiwa dan kehidupannya. Orang yang selalu bermujahdah akan dapat terbebas dari setiap selubung yang menghalangi karunia ridha Allah dan cahaya-Nya yang terang benderang.

Orang ‘Arif lebih berkonsentrasi memuji Allah Swt demi meraaih ridha-Nya. Sedangkan esensi memuji Allah adalah sebuah pengakuan bahwa segala bentuk pujian hanyalah milik Allah. Dia adalah Pemilik segala sifat yang pantas mendapat pujian.

Pada hakikatnya, dengan memuji Allah Swt seseorang, secara spiritual, sedang berusaha melebur egosentrisitas dirinya dan mengikis habis kesombongan sang diri. Dengan ketulusan memuji Allah berarti seseorang telah menyadari sepenuhnya akan kepemilikan-Nya atas segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri.

Pengucapan pujian kepada Allah yang disertai dengan pemahaman dan keyakinan yang bertahta di hati, akan membuka ruang kesadaran baru. Yaitu kesadaran bahwa dirinya sebagai makhluk Allah yang lemah, tidak memiliki kuasa apa pun dan terhadap siapa pun.

Kesadaran seperti inilah yang membuat seseorang menjadi dewasa secara ruhiah dan arif dalam memahami dan memaknai setiap peristiwa. Ia akan menjadi lebih rendah hati (tawadlu’), puas dengan hasil yang diperoleh, walaupun secara kuantitas sedikit, dan tidak menderita keluh kesah. Di sisi lain, akan lahir energi baru untuk bekerja optimal, mengerahkan segenap kemampuan untuk meraih prestasi tertinggi.

Pujian kepada Allah adalah refleksi penghambaan diri secara mutlak dan ketundukan seorang hamba kepada-Nya. Selain itu ia juga merupakan implementasi rasa syukur seorang hamba kepada Tuhannya. Oleh karena itu pujian kepada Allah tidak hanya sebagai kewajiban kemanusiaan tetapi juga menunjukkaan kualitas kesadaran tentang keharusan bersyukur seseorang terhadap segala nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya. Dengan begitu ia akan memuji Allah dalam segala ruang dan waktu.

“Segala puji bagi Allah yang memelihara apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bagi-Nya (pula) sega puji di akhirat. Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS Saba’ 34: 1).

Sementara itu Zahid (orang zuhud) adalah orang yang semata-mata taat kepada Allah dan tidak terbersit untuk menumpahkan ketaatan kepada selain-Nya. Menurut ulama salaf, zuhud ialah menanggalkan segala bentuk kecintaan dan ketergantungan kepada sesuatu untuk mencintai dan bergantung hanya kepada Allah Swt.

Inti zuhud adalah tidak terpengaruh atau tidak bergantungnya hati kepada berbagai hal yang berkaitan dengan kenikmatan dan atribut duniawi.
Baginya, jika dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat, urusan dunia itu tidak ada nilai langsung. Rasulullah Saw bersabda, ”Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau musafir.”(HR, Bukhari). Dengan demikian dirinya tidak merasakan pengaruh apa pun terhadap dunia.

Zuhud dalam aplikasinya dapat menumbuhkan sifat-sifat baik bagi diri seseorang. Sejalan dengan sifat-sifat baiknya itu ia akan terus mengalami kemajuan spiritualnya dan mencerminkan kearifan.

Zuhud akan melahirkan sifat qana’ah (menerima apa adanya yang diberikan oleh Allah Swt), memunculkan sifat tawakkal (kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Swt), menumbuhkan kemampuan untuk meninggalkan kenikmatan-kenikmatan sesaat demi kenikmatan abadi di alam akhirat, mengantarkan kedekatan diri dengan Allah Swt dengan penuh kecintaan, mengasah sensifitas kehati-hatian dirinya dalam memelihara kecerahan hati, meredakan gejolak hati terhadap nikmat dunia untuk meraih jiwa yang muthma`innah, dan dapat meraih kecintaan orang terhadap dirinya.

Rasulullah Saw adalah orang yang paling giat bekerja dan beramal shalih, semangat dalam ibadah, dan gigih dalam berjihad. Akan tetapi pada saat yang sama beliau lebih mementingkan kebahagiaan hidup di akhirat dan keridhaan Allah Swt daripada kenikmatan duniawi.

Ibnu Mas’ud Ra melihat Rasulullah Saw tidur di atas kain tikar yang lusuh sehingga membekas di pipinya, kemudian berkata, ”Wahai Rasulullah Saw, bagaimana kalau saya ambilkan untukmu kasur?” Rasulullah Saw menjawab, ”Untuk apa dunia itu! Hubungan saya dengan dunia seperti pengembara yang mampir sejenak di bawah sebatang pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR. al-Tirmidzi)

Oleh sebab itu langkah orang zuhud selalu memilih jalan di sisi Allah dan berpaling dari sesuatu untuk membebaskan diri dari kecintaan dan ketergantungan pada selain Allah. Rasulullah Saw bersabda, "Zuhudlah terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap sesuatu yang dimiliki orang lain, maka setiap orang akan mencintaimu." (HR. Ibnu Majah)

Sesungguhnya, kearifan dan kezuhudan sebagai indikator kemajuan spiritual saling berkaitan dan berkelindan. Tanpa pemahaman yang sempurna tentang hakikat Tuhan, manusia, dan dunia, mustahil seseorang akan dapat menjadi orang yang zuhud. Sebaliknya tanpa kezuhudan juiga tak mungkin orang akan menjadi arif dikarenakan hakikat kezuhudan adalah kesalihan sang diri. Selain kalbu yang kotor pasti tidak akan dapat mengenal Tuhannya secara jernih. Tidak akan dapat memahami hakikat diri dan alam sekitarnya.

Orang yang tidak mengenal Tuhannya, pasti tidak akan dapat bersyukur dan karenanya pula ia tidak akan dapat memuji-Nya siang dan malam. “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. al-A’raaf 7: 205).

Yakinlah, ketika kita memuji Allah, pada hakikatnya pujian itu akan kembali ke kita dalam bentuk energi pencerahan. Secara tidak sadar, kita menjadi semakin arif, bijaksana, jujur, ulet, optimis menatap masa depan, dan etos kerja kita semakin unggul. Wallahu A’lam.

--ustadz Abu Ridha



0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More