Rabu, 30 November 2011

Ini Akibatnya Jika Salah Memandang Konsep Islam!



KOMARUDDIN Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, belum lama ini menulis opini di harian KOMPAS (05/11/2011) berjudul “Keislaman Indonesia”.

Intisari dari tulisan tersebut adalah mengkritik prilaku Muslim Indonesia dan Negara-negara Arab yang disebut lebih mementingkan aspek ritual dari pada keslehan sosial. Sekaligus membandingkannya dengan Negara-negara maju non-Muslim yang dinilai lebih Islami.

Komaruddin Hidayat mengutip hasil riset Scheharazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University pada 2010 lalu tentang perilaku masyarakat Muslim. Penelitian itu menyebutkan, dari sebanyak 208 negara, Negara-negara Muslim anggota OKI rata-rata berada di urutan ke-139. Alias, Negara-negara sekuler perilaku masyarakatnya katanya lebih ‘Islami’ dari pada masyarakat Muslim.

Menafikan teologi

Tentu, mudah ditebak bahwa pendekatan yang digunakan untuk menilai perilaku masyarakat tersebut adalah sosiologis, bukan teologis. Bukan pula gabungan sosiologis-teologis. Hal ini dapat ditangkap dari tulisan Komaruddin Hidayat:

"Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia,” begitu tulisnya.

Artinya, perilaku dan karakter masyarakat yang menjadi objek penelitian, tidak dikaitkan dengan teologi. Sehingga, apapun bentuk akidah masyarakat tersebut, dapat saja disebut Islami, asalkan memenuhi syarat yang ia jadikan indikator.

Bisa diperhatikan, kepercayaan kepada Tuhan, Wahyu Tuhan dan kepada Nabi tidak menjadi parameter dalam penilaian tersebut. Akan tetapi justru karakter-karakter umum yang menjadi indikator. Persoalan apakah warga Jepang tersebut percaya pada Allah, al-Qur’an atau peribadatan yang berkaitan dengan hubungannya dengan Tuhan diabaikan.

Meskipun disebut dalam riset tersebut, bahwa indikator penelitiannya diambil dari ajaran al-Qur’an dan Hadist, namun bukan berarti riset itu menggunakan pendekatan teologis.

Model pengamatan seperti ini merupakan tradisi peneliti-peneliti postmodern. Yakni, sosiologi tidak dikaitkan dengan teologi. Teologi telah dimatikan.

Inilah problem mendasarnya. Penelitian tidak menjelajah konsep-konsep teologis agama sebagai indikator utama. Kepercayaan dan akidah bukan sasaran utama penelitian untuk menilai seseorang itu religius, Islami atau tidak islami. Peter L. Berger mengatakan, perspektif sosiologis concern pada struktur sosial, dan konstruksi pengalaman manusia.

Problemnya lagi, Berger menjelaskan bahwa dalam perspektif sosiologis, agama-agama dimasukkan ke dalam budaya (Peter L. Berger, The Social Reality of Religion, halaman 1).

Michael S. Northocott mengamini. Katanya, dalam pendekatan sosiologis, agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial (Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama).

Jadi, framework pendekatan sosilogis ala Barat menepatkan agama-agama sebagai produk budaya atau bentuk konstruksi sosial. Maklum saja, pendekatan ini anti-metafisikia. Bagi August Comte, metafisika itu kuno dan tergantikan oleh sains.

Mindset Orientalis

Makanya, Rehman, Askari dan Komaruddin Hidayat dalam opini tersebut sama sekali tidak menjadikan kepercayaan transendensi menjadi indiator utama. Mereka hanya menilai keislaman itu dari “kebiasaan disipilin antre”, “menjaga kebersihan”, “tidak korupsi”, “suka menolong” dan lain sebagainya.

Ada alasan kenapa yang dipilih adalah sosiologis bukan teologis. Mohammed Arkoun, pemikir liberal Arab asal Aljazair mengatakan, pendekatan teologis itu kuno, menimbulkan ‘clash’ antar pemeluk agama, dan menghidupkan ideologi truth claim (baca Al-Almanah wa al-Din, al-Islam, al-Masih, al-Gharb).

Model penelitian seperti inilah yang menjadi trend orientalis atau sarjana Barat pengkaji studi agama. Salah satunya tokoh pluralisme Agama, John Hick dan William P. Aston. Hick dan Aston sepakat, pengalaman religius itu menjadi parameter untuk menjustifikasi keyakinan beragama. Tampaknya Komaruddin Hidayat meniru tokoh ini.

Hick menjelaskan bahwa pengalaman dan karakter religius itu dapat ditemukan pada semua agama. Wajar saja kemudian Komaruddin, Rehman dan Askari berani mengatakan masyarakat Selandia Baru, Luksemburg dan Jepang “lebih islami” daripada masyarakat Timur Tengah dan Indonesia.

Secara kasar dapat dikatakan, orang Jepang yang atheis bisa menjadi sholeh. Atau masyarakat Selandia Baru yang Kristen perilakunya bisa menjadi islami. Inilah logika ‘ngawur’-nya.

Bagaimana mungkin seorang yang menghujat Tuhan dan menghina al-Qur’an dapat dinilai sebagai orang baik, berkarakter sholeh?

Jelas saja, pilihan sosiologis dalam riset tersebut berimplikasi terhadap cara pandang terhadap agama-agama. Agama adalah budaya dan agama adalah hasil konstruksi sosial masyarakat religius. Siapa saja bisa menjadi orang baik apapun agamanya.

Ujungnya, jika logika ini diteruskan akan menghasilkan keyakinan, bahwa semua agama adalah sama. Artinya, pendekatan sosiologis ala Barat tersebut memproduk ‘akidah’ Pluralisme Agama.

Inilah yang disebut kerancuan konsep dan berfikir. Yang disalah pahamai dalam konteks ini adalah konsep sholeh, konsep Islam dan konsep masyarakat Islami.

Syed Naquib al-Attas, menjelaskan indikator pertama untuk menilai seorang itu sholeh atau tidak adalah adabnya kepada Allah. Orang yang tidak percaya Tuhan, atau atheis adalah orang yang tidak beradab kepada Tuhannya, alias biadab.

Meskipun si atheis atau si kafir itu orang berdisiplin, jujur dan suka menolong orang lain tetap disebut biadab, bukan beradab. Sebab, amalnya batal atau tidak sah di depan Allah SWT.

Seperti firman Allah: “Dan orang-orang kafir amal-amalnya mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatangi ‘air’ itu, maka dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.” (QS. Al-Nur: 39).

Karenanya, karakter masyarakat non-Muslim yang kita anggap berbudaya disiplin, jujur dan tidak korupsi itu sesungguhnya hanya karakter palsu, laksana fatamorgana.

Makanya, mereka tidak dapat disebut masyarakat yang islami. Yang islami apanya? Percaya kepada Allah saja tidak, shalat tidak, bertauhid-pun juga tidak.

Yusuf Qaradhawi dan Ibnu Khaldun dengan jelas mendefinisikan ‘masyarakat islami’ itu adalah masyarakat yang menjadikan aqidah Islam sebagai pondasi dasar dalam melakukan aktifitas sosial.

Menurut al-Attas, orang baik itu adalah baik secara teologis sekaligus baik secara sosiologis. Bukan, baik secara sosiologis tapi jahat secara teologis. Inilah karakter yang disebut Islami. Al-Attas mengatakan:

“Orang baik adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Haq; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap diri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.” (Syed M.Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin).

Cara pandang postmo seperti ini sering dipakai kalangan liberal untuk berpendapat. Misalnya, pendapat yang mengatakan, “saya tidak shalat, tetapi baik pada tetangga.” Atau pendapat lain yang mengatakan, “Lebih baik beramal meski tidak shalat, daripada shalat tapi tidak beramal.”

Padahal dalil dalam al-Quran sangat jelas mengatakan;

”Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan (orang kafir), lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS: al-furqan ayat 23)

Kebersihan atau kerapian memang salah satu sifat Islam. Namun tidak bisa serta-merta disebut islami hanya dengan salah satu indikasi ini saja. Orang Muslimpun tak masuk kreteria “islami” jika niat melakukan kebersihan atau mencegah korupsi untuk tujuan riya’ atau hanya ingin dipandang baik di masyarakat. Apalagi orang kafir yang tak meyakini tauhid.

Tentu, cara pandang ini tidak mampu menilai secara hakiki identitas agama-agama, dan tidak adil menilai karakter religious seseorang.

Artinya, pendekatan sosiologis tersebut gagal menilai agama. Sebab hanya mampu menilai identitas permukaannya saja, sedangkan inti keislaman yaitu akidah sebagai motornya agama justru diabaikan.

Ini tentu berbeda dengan cara pandang para ilmuan Muslim. Ibn Khaldun dan al-Biruni dalam meneliti keagamaan masyarakat selalu mengaitkan dengan teologi. Karena keberagamaan itu terletak kepada teologi sebagai asasnya.

Tentu berbeda lagi jika Komaruddin Hidayat menjadikan antropologi dan sosiologi sebagai 'teologi'. Jika ini yang terjadi, maka selamanya tidak akan dapat menemukan hakikat agama keislaman, sebagaiman yang terjadi dalam tradisi pemikir postmodern.
http://www.blogger.com/img/blank.gif
Ternyata secara sosiologis pun baik pengamatan Komaruddin Hidayat, Rehman maupun Askari tidak adil. Coba lihat, bagaimana mereka melepaskan pandangannya tentang masyarakat di Negara-negara Barat yang berbudaya free sex, pergaulan bebas, minum-minuman keras dan lain sebagainya. Bahkan bagi Barat, seks itu adalah bagian dari peradabannya. Bagaimanakah Komaruddin, Rehman dan Askari menyebutnya sebagai ‘lebih islami’, dibanding orang Islam?

Penulis adalah alumni Jurusan Ilmu Akidah Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam Gontor Ponorogo

Keterangan foto: Kota Jepang yang bersih, tapi tak percaya Tuhan, apa juga disebut "islami?'

sumber :
http://pks-cianjur.org/index.php/artikel/tatsqif/580-ini-akibatnya-jika-salah-memandang-konsep-islam.html

Selasa, 29 November 2011

Apel Siaga Kepanduan DPD Jaksel

Ahad, 27 November 2011 di Bumi Perkemahan Ragunan, Kepanduan Jakarta Selatan mengadakan Apel Siaga dengan Komandan Upacara Bapak Sugeng dan Inspektur Upacaranya Ustadz Khoiruddin, Ketua DPD Jakarta Selatan. Penuhnya areal Komplek Bumi Perkemahan Ragunan, dari anak-anak SD yang mengadakan Persami (Perkemahan Sabtu Minggu), Komunitas Vespa dengan ajang silaturahmi sampai calon Satpam yang sedang latihan. Kepanduan dan Santika dengan tidak canggung berbaur,sambil menuju tempat Apel Siaga. Dalam amanatnya dihadapan 100 Kepanduan dan Santika, Ketua DPD PKS Jaksel mengatakan: "Sekarang ini, kepanduan adalah Relawan bukan pengamanan lagi, karena pengamanan sudah ada timnya. Dan, yang dibutuhkan masyarakat kita saat ini adalah relawan. Relawan bukan hanya ketika ada musibah saja, tetapi relawan ketika ada pelayanan sosial. Jangan bosan untuk memberi masyarakat, biar perut mereka dahulu, lalu ke otaknya, dan mudah-mudahan ke hati mereka. Di Tunisia yang memenangkan pemilunya adalah bukan kadernya melainkan relawannya, yang rata-rata PSK." Dan sebagai penutupnya, Ustadz Khoiruddin mengingikan Jakarta Selatan relawan 1.000 orang yang berdiri dihadapan beliau, amin. Allahu Akbar !!!

Jumat, 25 November 2011

Sambut Hari Guru Nasional, PKS Ajak Kader Sowan Para Guru



"Oemar Bakri ... Oemar Bakri
Bikin otak orang seperti otak Habibie
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri
Seperti dikebiri."

(Lagu Oemar Bakri karya Iwan Fals)

Senin, 07 November 2011

Kurban



pkspasarmanggis. Kurban berarti dekat atau mendekat, berarti setelah setiap hari kita sudah dekat dengan Allah melalui shalat, shaum sunnah, infaq, sedekah dan kebajikan lainnya, kita berusaha mendekatkan lagi dengan mencari sesuatu yang terbaik untuk dipersembahkan kepada Allah, seperti anak-anak Nabi Adam AS.

Bahkan, kita berusaha mendekatkan diri kepada Allah seperti Nabi Ibrahim AS, yang tega meninggalkan anak istri disebuah lembah tandus tiada air, makanan, pepohonan, hewan, dan manusia karena Allah. Dan istrinya pun menjalaninya dengan ikhlas, bersedia ditinggalkan bersama anaknya yang masih bayi di lembah tandus karena perintah Allah. Bukan seperti istri-istri kita, yang baru ditinggal sebentar untuk liqo’, pertemuan, mabit, sebentar-bentar SMS, sebentar-bentar menelpon suaminya yang sedang liqo’, kapan selesainya, masih lama gak?

Ditambah lagi dalam mimpinya Nabi Ibrahim AS, yang tidak ada kata “HARUS” dan “WAJIB” seperti kita dalam ta’limat, bahkan sampai ditelepon, di SMS, dijemput, padahal itu adalah sudah merupakan kewajiban kita di dalam jama’ah maupun di struktual, segera melaksankan titah Allah SWT untuk menyembelih anaknya yang baru beliau jumpai setelah sekian lama tidak bertemu, karena beliau paham itu adalah kewajiban. Kita pun harus memahami, bahwa apa yang dituntut jama’ah dan struktur merupakan kewajiban.

Jika kita berkurban dengan seekor kambing seharga dua juta setahun satu, sesungguhnya kita sudah bisa membeli HP yang harganya dua juta pula dalam setahun dua, apa ini yang disebut berkurban? Karena dalam jama’ah ini dibutuhkan lebih dari apa yang kita cintai, yaitu nyawa kita.

Ketika liqo’ sudah jarang hadir, ketika pertemuan yang diadakan struktur tidak hadir, bahkan ketika hadir pun tidak merasakan kebahagian apapun, tidak ada rasa, jasadnya hadir, namun hatinya sedang melayang, apakah bisa kita berkurban?

Inilah pelajaran yang harus kita pahami dalam berkurban. Mudah-mudahan, kita dapat menghayatinya dan merubah persepsi kita di dalam berjama’ah dan di struktural.

Berbagi Kebahagian dengan Kurban






pkspasarmanggis. Ahad, 6 November 2011 M bertepatan tanggal 10 Dzulhijjah 1432 H, DPRa PKS Pasar Manggis mengadakan pemotongan hewan kurban berupa satu ekor sapi dari Bang Sani di sekretariat DPC PKS Setia Budi.

DPRa PKS Pasar Manggis yang menumpang memotong sapi di DPC PKS Pasar Manggis, maka dibentuklah panitia bersama untuk efisien waktu dan tenaga agar pada hari Ahad ini semua hewan kurban dapat dipotong dan distribusikan.

Tidak kurang 400 kupon tersebar di 12 RW yang ada di kelurahan Pasar Manggis melalui Koordinator RW (Kor We) yang telah terbentuk di DPRa PKS Pasar Manggis, walaupun masih terasa kurang untuk memenuhi seluruh kader maupun simpatisan yang ada.

Disaat pembagian yang ditukar kupon dengan kantong berisi daging, MC yang membuka acara pembagian, bapak Lukman Hakim mengatakan bahwa daging kurban yang tersedia di PKS saat ini dari Bang Sani, Insya Allah jika Bang Sani terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta tahun 2012 nanti, di Pasar Manggis bukan Cuma satu sapi, tapi bisa lebih dari satu ekor.

Alhamdulillah, pembagian berjalan tertib, aman, dan terkendali, semua mendapatkan satu kantong berisi daging sapi, termasuk panitia. Di hari yang penuh barokah, ketika Allah telah memberikan banyak kenikmatan kepada kita, maka kita pun disuruh untuk shalat dan berkurban dengan daging kurban, untuk diberikan kepada yang membutuhkannya, berbagi kebahagian dengan kurban.

Rabu, 02 November 2011

Keikhlasan


pkspasarmanggis. Ahad, 30 Oktober 2011 Ustadz Sahroni Madani, Lc memberikan tausiahnya di hadapan keluarga besar DPRa PKS Pasar Manggis yang mengadakan acara Rihlah di Kebun Binatang Ragunan.

Dalam tausiahnya, Ustadz Sahroni yang membicarakan keikhlasan. Sangat jarang DPRa mengadakan acara rihlah dan terlaksana, walau dengan syuro 13 kali seperti di Pasar Manggis, jika tidak ada keikhlasan diantara pengurus dan kadernya. Yang ada cuma omongan, ya Raguan lagi Ragunan lagi.

Mungkin, kita bisa bilang Ragunan lagi Ragunan lagi. Tapi, buat anak-anak kita, ini hiburan dan liburan tersendiri. Yang biasanya di rumah tidak bisa lari-lariang karena rumahnya sempit, di Ragunan inilah anak-anak bisa dengan puas lari-larian.

Abi sama umminya pun jangan pula marah-marah, ingat kita lagi rihlah, senyum, ikhlas walau rihlah di Ragunan. Anak-anak yang lari-larian jangan dilarang. Anak, lihat ada tanah lapang dikit yang lari-larian.

Ustadz Sahroni pun menceritakan bahwa dulu ada sahabat yang bersedekah pada malam hari, namun dia salah memberikan sedekahnya. Dia bersedekah kepada pencuri, bersedekah kepada wanita nakal, dan bersedekah kepada orang kaya.

Ketika pagi hari, orang-orang membicarakan sedekahnya yang salah alamat. Namun, sahabat ini tetap ikhlas walau salah alamat. Dia berdo’a, ya Allah hamba bersedekah ikhlas karena Engkau, walau hamba salah alamat. Jadikanlah wasilah sedekah hamba ini, untuk menjadi taubat si pencuri agar tidak mencuri lagi, untuk menjadi taubat si wanita nakal menjadi wanita baik-baik, dan menjadi pelajaran berharga bagi orang kaya yang menerima sedekah hamba.

Sebagai penutup, Ustadz Sahroni pun menceritakan Abu Nawas dengan anaknya yang membawa keledai. Abu Nawas menuntun keledai yang ditunggangi anaknya, orang-orang mengatakan anak durhaka, masa bapaknya jalan anaknya duduk. Abu Nawas pun menunggangi keledai dan anaknya yang berjalan, orang-orang pun mengatakan orang tua yang tidak tahu diri masa anaknya jalan bapaknya enak-enakan duduk di keledai. Ditunggangilah keledai itu Abu Nawas bersama anaknya, namun orang-orang pun mengatakan tidak tahu diri bapak sama anak, masa keledai ditunggangi bersamaan. Akhirnya keledai itu pun dipanggul Abu Nawas dan anaknya.

Jadi, apapun yang kita lakukan pasti orang-orang akan membicarakan kita, ngomongin kita. Harusnya gini, harusnya gitu, makanya dengerin omongan ane, jadinye gak kaya gini. Sebaik-baik apaun yang kita kerjakan, orang akan nyalahin kita. Makanya, kita tidak perlu musingin omongan kiri kanan. Kita di struktur, ya bekerja saja dengan penuh keikhlasan, walau ada kader yang ngomongin kita. Bahkan menjelek-jelekkan anggota DPR kita yang gini yang gitu, pimpinan kita, Qiyadah kita, kita tsiqoh aja.

Kebun Binatang Ragunan






pkspasarmanggis. Ahad, 30 Oktober 2011, keluarga besar DPRa PKS Pasar Manggis rihlah ke Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan.

Biasanya, setelah Ramadhan, DPRa PKS Pasar Manggis mengadakan Halal bi halal. Namun, untuk tahun ini karena beberapa hal, halal bi halal berubah menjadi rihlah. Rihlah ini pun maju mundur, karena pertimbangan waktu yang terlalu singkat dan tempat yang dibidik tidak memuaskan, dan jadilah tanggal 30 Oktober 2011 di Kebun Binatang Ragunan.

Dari syuro’ terakhir yang tidak jadi, Jum’at, 28 Oktober 2011 mungkin karena hujan, dan tidak maksimal yang hadir, walau akhirnya diputuskan tetap jadi sambil masang spanduk Kompetisi Futsal se – Jakarta.

Kurang lebih satu jam menunggu di depan Gedung Sayap Ibu, 14 keluarga bersama anak-anaknya berangkat ke Kebun Binatang Ragunan. Terasa lenggang di bis, karena banyak yang tidak bisa hadir.

Jelang ustadz Sahroni Madani, Lc memberikan tausiahnya, Zainal dan istrinya serta Akmal dan keluarganya sampai juga ke Kebun Binatang Ragunan. Dalam tausiahnya, ustadz Sahroni banyak membicarakan tentang keikhlasan, bahwa sangat jarang DPRa mengadakan acara rihlah dan terlaksana, walau dengan syuro 13 kali seperti di Pasar Manggis, jika tidak ada keikhlasan diantara pengurus dan kadernya.

Lomba pun digelar, dari balita yang membawa balon untuk diserahkan ke umminya. Umminya pun tidak mau ketinggalan, dengan menghafalkan nama-nama bumbu dapur dalam waktu 10 detik, lalu mengambil, membawa dan mengumpulkannya. Ternyata, ummahat yang biasa di dapur, ada yang salah ambil, terigu jadi sagu.

dr. Indra Buka Praktek


pkspasarmanggis. Ahad, 23 Oktober 2011 PKS Pasar Manggis mengadakan acara Pelayanan Kesehatan Pengobatan Gratis dan Pemeriksaan Gula Darah di RW 03 atau di depan Warung Ayam Bakar Bu Endang.

Untuk Pengobatan Gratis, ada Team Medis yang terdiri dari satu dokter dan tiga asisten apoteker dan dibantu panitia. Panitia meregestrasi pasien sambil menimbang dan memeriksa tensi darah pasien.

Dalam Pelayanan Kesehatan kali ini, dr. Indra buka praktek dengan tarif Rp. 2.000 / pasien untuk pemeriksaan Gula Darah. Dengan dibantu Hendra, simpatisan PKS Pasar Manggis, dr. Indra yang biasa praktek dengan bekam dan obat-obat herbal, mampu melayani 42 pasien. Sebenarnya dr. Indra (bukan seorang dokter), yang biasa dipanggi pak RT dan nongkrong di kelurahan bisa melayani lebih dari 42 pasien, namun karena amunisi yang terbatas, tidak bisa melayani lebih dari 42.

Mau dibekam, dicek gula darah, atau butuh obat-obat herbal, silahkan hubungi dr. Indra.

Yankes RW 03, Sedikit Panitia Banyak Peserta





pkspasarmanggis. Ahad, 23 Oktober 2011 DPRa PKS Pasar Manggis mengadakan Layanan Kesehatan berupa Pemeriksaan Gula Darah serta Pemeriksaan dan Pengobatan Gratis pada di Jl. Menteng Wadas Utara Rt 004/003 Kelurahan Pasar Manggis Kecamatan Setia Budi Jakarta Selatan.

Tepat pukul 08.00 sesuai dengan rencana, walau kurang personal panitia, dan beberapa perlengkapan, pasien sudah datang. Registrasi berjalan terhambat karena alat tensi darah milik DPRa tidak mau mendeteksi tensi darah pasien. Ditambah pula Ukhti Rosa menanyakan form nama, umur, berat badan, dan tensi darah pasien yang biasa ada di kupon, kali ini tidak ada. Menjelang Team Medis datang, dengan wara-wiri, akhirnya form tersedia, begitu pula alat untuk tensi darah.

Pukul 09.00, acara dimulai dengan MC akhina Zul Akmal, Tilawatul Qur’an oleh akhina Marno, dan Sambutan Ketua DPRa PKS Pasar Manggis akhina Novrizal Koto, akhirnya pemeriksaan dan pengobatan pun dimulai.

Akhina Idra Jaya buka praktek juga dengan bayaran Rp. 2.000 / pasien untuk Pemeriksaan Gula Darah. Karena amunisinya tidak tersisa, 42 pasien terlayani dengan baik, walau ada beberapa yang menyusul ingin menjadi pasiennya.

Dari target 150 pasien, yang terlayani 126 pasien karena atas permintaan Team Medis untuk tidak menerima pasien lagi. Selepas Dzuhur, acara Pelayanan Kesehatan pun selesai.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More